2.1 PENGERTIAN PERKEMBANGAN MORAL
Menurut
KBBI, moral adalah ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai
perbuatan,sikap, kewajiban dan sebagainya. Moral juga diartikan sebagai
kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah,
berdisiplin,dsb. Dan juga dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan yang dapat
ditarik dari suatu cerita.
Menurut
Webster New World Dictionary dalam
Mayar (2010), moral adalah suatu yang berkaitan dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya
suatu tingkah laku.
Sedangkan
menurut Hari Cahyono dalam Mayar (2010), moral adalah adanya kesesuaian dengan ukuran baik buruknya
suatau tingkah laku yang telah diterima oleh suatu masyarakat termasuk
didalamnya berbagai tingkah laku spesifik. Contoh tingkah laku seksual. Kata
moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai
manusia. Norma-norma moral adalah ukuran untuk menentukan betul salahnya sikap
dan tindakan manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Hersbethal
dalam Mayar (2010), mengajukan 3 unsur tentang pengertian moralitas sebagai berikut:
1. Perhatian
Perhatian
adalah suatu momen kesadaran tertentu pada seseorang dalam menyikapi secara
moralsebagai masalah dalam kehidupan sosial.
2. Pertimbangan
Pertimbangan
moral berimplikasikan penalaran. Pertimbangan moral memiliki kekuatan apabila
prinsip yang menjadi acuan tetap konsisten dan objektif dalam penerapannya.
3. Pada
anak-anak nilai-nilai moral bukan terletak pada dampak tindakan terhadap
lingkungan orang lain, tetapi terletak pada apakah tindakan itu mendatangkan
kepuasan kepada anak/ tidak. Baik perhatian maupun pertimbangan moral serta
berpusat pada anak itu sendiri.
Menurut
Simandjuntak (1980), moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang sesuai dengan
nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta
menyenangkan lingkungan masyarakat, maka orang tersebut dinilai memiliki nilai
moral yang baik. Moral juga merupakan, sikap, tindakan, dan kelakuan yang
dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman.
Perkembangan
moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar
mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal,
yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia terlibat dalam interaksi sosial dan
dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik.
Pengertian perkembangan moral menurut beberapa ahli:
1. Perkembangan
moral menurut teori belajar
Menurut
teori ini perkembangan oral merupakan proses yang dipelajari selama proses
interaksi sosial perseorangan dengan orang lain.
2. Perkembangan
moral menurut teori kognitif
Jean
Piaget menekankan bahwa perkembangan kognitif erat kaitannya dengan
perkembangan moral.
3. Perkembangan
moral menurut teori Santrock
Perkembangan
moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan konvensi mengenai apa
yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.
Perkembangan moral merupakan perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam
kehidupan anak berkenaan dengan tatacara, kebiasaan, adat, atau standar nilai
yang berlaku dalam kelompok sosial.
Berdasarkan
teori Kohlberg dalam Papalia (2011), perkembangan moral anak-anak dan remaja
mengiringi kematangan kognisi. Anak muda mencapai kemajuan dalam penilaian
moral ketika mereka menekan egosentrisme dan menjadi cakap dalam pemikiran
abstrak. Walaupun demikian, pada masa dewasa, penilaian moral seringkali
menjadi lebih kompleks. Walaupun kesadaran kognitif terhadap prinsip moral
tingkat tinggi seringkali berkembang pada masa remaja, biasanya orang-orang
baru melaksanakannya pada masa dewasa. Dua pengalaman yang memacu perkembangan
moral pada masa dewasa awal adalah menghadapi nilai yang bertentangan dengan
nilai yang sudah dianut di rumah (seperti yang terjadi di asrama atau wajib
militer atau terkadang pada saat perjalanan ke luar negeri) dan pengalaman
dalam bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain (seperti dalam
berumah tangga).
Pengalaman mungkin mengarahkan orang dewasa
untuk mengevaluasi kembali kriteria mereka tentang benar dan salah. Sebagian
orang dewasa secara spontan menyebut pengalaman personal sebagai alasan jawaban
mereka terhadap dilema moral. Misalnya, orang-orang yang mengidap kanker atau
memiliki saudara yang mengidap penyakit tersebut, berkecenderungan lebih besar
memaafkan pria yang mencuri obat maal demi istrinya yang sedang sekarat, dan
menjelaskan pandangan ini dari pengalaman mereka sendiri. (Bielby dan Papalia,
dalam Papalia(2011)). Pengalaman Arthur Ashe dalam lingkungan yang amat
kompetitif seperti menjadi kapten tim Davis AS., menjadikan dia menjadi lebih
aktif dan terang-terangan dalam sarannya terhadap pengakhiran apartheid di
Afrika Selatan. Pengalaman seperti ini, yang amat diwarnai oleh emosi, memicu
pemikiran ulang dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh diskusi impersonal
dan hipotesis, dan pengalaman ini lebih mungkin membuat orang bisa melihat
sudut pandang orang lain. Dengan demikian, berkenaan dengan penilaian moral,
tahapan kognitif bukanlah segalanya. Tentu saja, seseorang yang pemikirannya
masih egosentris berkecenderungan lebih kecil membuat keputusan moral pada
level postkonvensional (mengikuti prinsip moral yang dipegang dalam batin dan
dapat memutuskan dalam kondisi pertentangan standar moral);akan tetapi bahkan
seseorang yang dapat berpikir secara abstrak bisa jadi tidak encapai level
tertinggi perkembangan moral kecuali pengalamannya menyatu dengan kognisinya.
Banyak orang dewasa yang cakap memikirkan dirinya sendiri tidak dapat keluar
dari batasan konvensional kecuali pengalaman mereka telah menyiapkan mereka
terhadap perubahan teresebut. Lebih jauh lagi, pengalaman diinterpretasikan
dalam konteks kultural.
2.1.1 Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut Mönks (2006 : 312), Kohlberg meneliti
pernilaian moral dalam perkembangannya, jadi apa yang dianggap baik (seharusnya
dilakukan) dan tidak baik (tidak pantas dilakukan) oleh anak dalam stadium yang
berbeda-beda. Hal ini diteliti melalui dilema-dilema moral. Dengan begitu tindakan seseorang atas
dasar pernilaian moral tadi tidak
tinjauan yang utama. Hal ini dapat dimengerti yaitu bahwa peneliti yang
berasal dari mashab Piaget akan menitikberatkan pada perkembangan aspek
kognitif-volisionalnya. Berdasarkan penelitian terhadap anak-anak yang
diberikan dilema moral yang makin menuntut pengertian yang kompleks, maka
Kohlberg melukiskan perkembangan moral anak dalam 6 stadium. Keenam stadium ini
ada hubungan dengan keempat stadium perkembangan kognitif yang dikemukakan
Piaget.
Dalam tingkatan nol
anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya.
Tingkatan ini bersamaan dengan stadium sensori-motorik dalam perkembangan
inteligensi menurut Piaget. Sesudah tingkatan ini datanglah kedua tingkatanyang
oleh Kohlberg disebut pra-konvensional. Anak menanggap baik atau buruk atas
dasar akibat yang ditimbulkan oleh suatu tingkah laku: hadiah atau hukuman
(stadium 1). Dalam stdium pra-konvensional yang berikutnya (stadium 2) anak
mengikuti apa yang dikatakan baik atau buruk untk memperoleh hadiah atau
menghindari hukuman. Hal ini disebut hedonisme
instrumental . sifat timbale balik disini memegang peranan, tetapi masih
dalam arti “moral balas dendam”. Kedua stadium ini sesuai waktu dengan stadium
pra-operasional dalam perkembangan intelektual Piaget. Dengan datangnya stadium
operasional formal mulailah juga perkembangan moral yang sebenarnya. Dalam
hubungan ini Kohlberg membedakan antara tingkatan konvensional (stadium 3 dan
4) dan tingkatan post-konvensional (stadium 5 dan 6). Dalam stadium 3 akan
dinilai baik apa yang dapat menyenangkan dan disetujui oleh orang lain dan
buruk apa yang ditolak oleh orang lain. Menjadi “anak yang manis” masih sangat
penting dalam periode ini. Dalam stadium 4 ini tmbuh semacam kesadaran akan
kewajiban dalam arti ingin mempertahankan kekuasaan dan aturan-aturan yang ada,
karena dianggapnya berharga, tetapi dengan belum dapat mempertanggungjawabkan
secara pribadi. Tingkatan yang terakhir
disebut post-konvensional untuk menunjukkan bahwa dalam stadium operasional
formal moralitas akhirnya akan berkembang sebagai pendirian pribadi, jadi lebih
tidak tergantung daripada pendapat-pendapat konvensional yang ada. Originalitas
remaja juga nampak dalam hal itu. Pertama remaja masih mau diatur secara ketat
oleh hokum-hukum umum yang lebih tinggi (stadium 5). Meskipun di sini kata hati
sudah mulai bicara, namun penilaiannya masih belum timbul dari kata hati yang
sudah betul-betul diinternalisasi, yang seringkali Nampak dalam sikap yang
radikal kaku. Sesudahnya ini datanglah penginternalisasan moral yaitu remaja
melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin
sendiri(stadium 6).
Tingkat perkembangan sosial-kognitif
akan diterangkan berikut ini:
1. Tingkat
egosentris: anak belum membedaka antara perspektif sendiri dengan perspektif
orang lain. Ia belum “merasakan” bahwa orang lain yang tidak ada dalam situasi
tertentu akan dapat mempunyai pandangan yang lain.
2. Tingkat
subjektif: anak sekarang sadar bahwa ada perspektif yang lain misalnya karena
seseorang ada dalam situasi yang lain maka ia akan memperoleh informasi atau
penilaian yang lain. Perspektif yang berbeda-beda ini belum dapat dimengerti
hubungannya.
3. Tingkat
refleksi diri: sekarang ada perspektif yang menyebelah atau yang tidak timbale
balik pada anak. Anak sadar bahwa orang lain dapat mempunyai perasan dan
pikiran yang lain pula, tetapi ia belum
mampu untuk menghubungkan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain.
Ia belum dapat menempatkan dirinya betul-betul pada tempat orang lain.
4. Tingkat
koordinasi perspektif: baru sekarang anak dapat mengerti suatu situasi-situasi
dari sudut pandangan orang ketiga yang “netral”. Mulai sekarang ia mengerti
bahwa orang-orang yang mengadakan interaksi itu secara simultan saling mengerti
pendirian masing-masing. Sifat khas dari koordinasi perspektif adalah, bahwa
anak seakan-akan menempatkan diri di luar dirinya sendiri dengan orang lain
dari ‘sudut posisi orang ketiga’ dan dari posisi itu dapat menemukan hubungan
yang timba balik antara berbagai perspektif tadi. (Gerris dalam Mönks, 2006
hal. 314).
Menurut Kohlberg dalam
Mönks (2006), kebanyakan orang tidak mencapai tingkat post-konvensional atau
terlambat mencapainya yang dapat disebabkan oleh pengaruh kuultur atau
sub-kultur. Menurut penelitiannya mak 10% dari remaja Amerika mencapai tingkat
ini sekitar usia 16 tahun. Menurut Kohlberg maka perkembangan moral dapat
distimulasi oleh pendidikan moral.
Dewey pernah membagikan
proses perkembangan moral atas 3 tahap yaitu: tahap pramoral, tahap
konvensional dan tahp otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan
menggolongkan seluruh pemikiran moral anak sesuai dengan kerangka pemikiran
Dewey:
1. Tahap
pramoral, anak belum menyadari keterikatannya pada aturan
2. Tahap
konvensional, dicirikan oleh ketaatan pada keuasaan
3. Tahap
otonom, bersifat keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas
Tahap-tahap moral
1. Pada
Tingkat prakonvensional kita menemukan:
Tahap 1 — orientasi hukuman dan
kepatuhan : orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan
terhadap kekuasaan yang lebih tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau
nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini.
Tahap 2 — orientasi
relativis-instrumental : perbuatan yang benar adalah yang secara instrumental
memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain.
Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan ditempat umum. Terdapat
unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi
semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah
soal “jika anda menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”, dan
ini bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
2. Pada
Tingkat konvensional
Tahap 3 — orientasi kesepakatan antara
pibadi atau orientasi “anak manis”. Perilaku yang baik adalah perilaku yang
menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Terdapat
banyak konformitaas dengan gambara-gambaran streotip mengenai apa yang di
anggap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang wajar. Perilaku kerp kali
dinilai menurut niat, ungkapan ia bermaksud baik untuk pertama kalinya menjadi
penting dan digunakan secara berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan dengan
berperilaku baik.
Tahap 4 — orientasi hukum dan
ketertiban: orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan
tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas,
memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan
sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatkan rasa hormat
dengan berperilaku menurut kewajibannya.
3. Pada
Tingkat pasca-konvensional
Tahap 5 — orientasi kontrak sosial
legalistis: suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis
dan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderungdidefinisikan dari segi hak-hak
bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh
seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesadaran yang jelas mengenai relativisme
nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur
yang sesuai untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang disepakati
secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal
nilaidan pendapandangpat pribadi. Hasilnya adalah suatu tekanan atas sudut
pandang legal, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hokum
berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan sosial dan bukan membuatnya
beku dalam kerangka hokum dan ketertiban seperti pada gaya tahap 4. Di luar
bidang legal, persetujuan dan kontrak bebas merupakan unsur-unsur pengikat
unsur-unsur kewajiban.
Tahap 6 — orientasiprinsip
etikauniversal : orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip
etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemahaman logis, menyeluruh,
universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip
universal mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan HAM, serta rasa hormat
terhadap martabat manusia sebagai individu.
Menurut
Giligan dalam Papalia (2011 : 667), berikut adalah level-level perkembangan
moral pada wanita:
Level 1 :
orientasi pada kebertahanan hidup individual
Wanita
berkonsentrasi pada dirinya sendiri—apa yang praktis dan yang terbaik untuk
dirinya.
Transisi 1 :
dari egoisme kepada tanggung jawab
Wanita
menyadari hubungannya dengan orang lain dan memikirkan apa pilihan bertanggung
jawab yang akan di ambil dalam kerangka hubungannya dengan orang lain (termasuk
janin yang dikandungnya) sekaligus dengan dirinya sendiri.
Level 2 :
kebaikan adalah pengorbanan diri
Kebijakan
kuno feminine menuntut pengorbanan keinginan wanita itu sendiri demi keinginan
orang lain—dan yang akan dipikirkan orang lain terhadap dirinya. Dia menganggap
dirinya bertanggung jawab terhadap tindakan orang lain, dan pada saat yang sama
menanggung tanggung jawab orang lain terhadap pilihannya. Dia berada dalam
posisi bergantung kepada orang lain, salah satu sebabnya adalah karena usaha
tidak langsungnya menampakkan control sering berubah menjadi manipulasi dan
terkadang melalui perasaan bersalah.
Transisi 2 :
dari kebaikan kepada kebenaran
Wanita
menilai keputusannya tidak berdasarkan bagaimana orang lain akan bereaksi
terhadap dirinya tapi berdasarkan keinginannya dan konsekuensi dari
tindakannya. Dia mengembangkan penilaian baru yang mempertimbangkan keinginannya sendiri beserta
keinginan yang lain. Dia ingin menjadi
“baik” dengan bertanggung jawab kepada orang lain, tapi juga ingin menjadi
“jujur” dengan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Survival return merupakan perhatian utamanya.
Level 3 :
moralitas non kekerasan
Dengan
menjadikan tindakan tidak menyakiti orang lain (termasuk dirinya sendiri)
menjadi prinsip yang mengatur semua penilaian moral dan tindakan, seorang
wanita membangun “ekualitas moral” antara dirinya dan orang lain dan kemudian
menjadi mampu memperkirakan tanggung jawab pilian dalam sebuah dilema moral.
Akan
tetapi, riset lain, secara keseluruhan, tidak menemukan perbedaan gender yang
signifikan pada penalaran moral. Satu analisis berkala besar yang membandingkan
66 studi menemukan tidak ada perbedaan signifikan dalam respons pria maupun
wanita terhadap dilema Kohlberg sepanjang rentang kehidupan (L. J. Walker dalam
Papalia,2011: 668).
2.1.2 Ciri-ciri perkembangan moral AUD
Jean
Piaget dalam Mayar (2010) mengamati ciri-ciri perkembangan moral anak yaitu:
·
Anak usia 2 tahun
mereka bermain tidak dengan anjuran yang dikendalikan aktivitas mereka
(aktivitas motorik) tidak ada kesadaran yang mengatur penggunaan permainan.
·
Anak 2 - 6 tahun mulai
secara berangsur-angsur memiliki kesadaran akan peraturan. Akan tetapi ia
menganggap peraturan itu suci, tidak
dapt diganggu gugat. Pelaksanaan peraturannya bersifat egosentris artinya ia
hanya menirukan apa yang ia lihat.
·
Anak usia 7 – 10 tahun
mulailah anak beralih dari kesenangan psikomotorik menuju pada tingkat
kesadaran adanya kerangka aturan yang disepakati.
Dan
ciri-ciri perkembangan moral anak usia dini bisa juga kita lihat dengan tingkah
laku atau sikapnya sehari-hari bagaimana ia menghormati orangtuanya, temannya,
dan gurunya. (Mudjiran : 2002)
2.2
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL
Menurut Mudjiran
(2002), faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak usia dini
yaitu, diantaranya:
·
Orangtua/guru sebagai
model
Dasar pandangan
anak-anak dikontrol oleh perintah orangtua, karena adanya pengakuan anak
terhadap kewibawaan orangtua, bukan karena ketakutan terhadaphukuman orang tua.
·
Kurangnya disiplin yang
diberikan orangtua
a. Orangtua
otoriter akan melemahkan perkembangan moral anak
b. Orangtua
yang menerapkan disiplin induksi akan meningkatkan perkembangan moral anak
c. Orangtua
yang menerapkan disiplin penarikan cinta, menimbulkan pengaruh yang buruk atau
agresif
·
Interaksi dengan teman
sebaya
Interaksi dengan teman
sebaya dan kemampuan bermain peranan meningkatkan perkembangan moral.
·
Adanya keseluruhan
tingkah laku yang ditiru oleh anak tanpa membedakannya
·
Kurangnya motivasi
·
Tidak adanya aspirasi
orang dewasa dalam pembentukan moralnya
Perkembangan moralitas menurut Kohlberg
dalam Papalia (2011) juga dipengaruhi oleh pendidikan moral.
Menurut Simandjuntak
(1980), Pola pembentukan norma moral dapat diperoleh anak dengan cara pelajaran mengenai tingkah laku
sesuai dengan situasi dan norma yang berlaku, identifikasi, yaitu meniru
tingkah laku orang-orang sekitar, dengan bertambahnya pengalaman anak. Kondisi
yang menghambat perkembangan moral anak ialah:
·
faktor orangtua seperti
sikap yang tidak konsisten, sikap sukar diduga, mencela tanpa penjelasan
·
faktor lingkungan
seperti perubahan nilai akan menggoncangkan norma yang sudah terbentuk pada
anak, dan perbedaan situasi dengan norma-norma sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
DEPDIKNAS. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Mayar,Farida dan
Rivda Yetti. 2010. Bahan Ajar
Perkembangan Peserta Didik. Padang: UNP.
Mudjiran, dkk. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Padang : UNP
Press.
Mönks, F. J, dkk. 2006. Psikologi Perkembangan: pengantar dalam
berbagai bagiannya.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Papalia, Diane E. ,dkk. 2011. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta:
Kencana.
Simandjuntak,
B dan I.L.,Pasaribu. 1980. Pendekatan Fenomenologis
tentang Existensi Manusia Dasar-Dasar Pembinaan Generasi Muda: Psikologi
Perkembangan. Bandung: Tarsito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar