Sabtu, 20 Desember 2014

PERKEMBANGAN MORAL (PSIKOLOGI)



2.1 PENGERTIAN PERKEMBANGAN MORAL
Menurut KBBI, moral adalah ajaran tentang baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan,sikap, kewajiban dan sebagainya. Moral juga diartikan sebagai kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin,dsb. Dan juga dapat dikatakan sebagai ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.
Menurut Webster New World Dictionary dalam Mayar (2010), moral adalah suatu yang berkaitan dengan kemampuan  menentukan benar salah dan baik buruknya suatu tingkah laku.
Sedangkan menurut Hari Cahyono dalam Mayar (2010), moral adalah  adanya kesesuaian dengan ukuran baik buruknya suatau tingkah laku yang telah diterima oleh suatu masyarakat termasuk didalamnya berbagai tingkah laku spesifik. Contoh tingkah laku seksual. Kata moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah ukuran untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Hersbethal dalam Mayar (2010), mengajukan 3 unsur tentang pengertian moralitas  sebagai berikut:
1.      Perhatian
Perhatian adalah suatu momen kesadaran tertentu pada seseorang dalam menyikapi secara moralsebagai masalah dalam kehidupan sosial.
2.      Pertimbangan
Pertimbangan moral berimplikasikan penalaran. Pertimbangan moral memiliki kekuatan apabila prinsip yang menjadi acuan tetap konsisten dan objektif dalam penerapannya.
3.      Pada anak-anak nilai-nilai moral bukan terletak pada dampak tindakan terhadap lingkungan orang lain, tetapi terletak pada apakah tindakan itu mendatangkan kepuasan kepada anak/ tidak. Baik perhatian maupun pertimbangan moral serta berpusat pada anak itu sendiri.
Menurut Simandjuntak (1980), moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakat, maka orang tersebut dinilai memiliki nilai moral yang baik. Moral juga merupakan, sikap, tindakan, dan kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman.
Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal, yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia terlibat dalam interaksi sosial dan dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik. Pengertian perkembangan moral menurut beberapa ahli:
1.      Perkembangan moral menurut teori belajar
Menurut teori ini perkembangan oral merupakan proses yang dipelajari selama proses interaksi sosial perseorangan dengan orang lain.
2.      Perkembangan moral menurut teori kognitif
Jean Piaget menekankan bahwa perkembangan kognitif erat kaitannya dengan perkembangan moral.
3.      Perkembangan moral menurut teori Santrock
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral merupakan perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tatacara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial.
Berdasarkan teori Kohlberg dalam Papalia (2011), perkembangan moral anak-anak dan remaja mengiringi kematangan kognisi. Anak muda mencapai kemajuan dalam penilaian moral ketika mereka menekan egosentrisme dan menjadi cakap dalam pemikiran abstrak. Walaupun demikian, pada masa dewasa, penilaian moral seringkali menjadi lebih kompleks. Walaupun kesadaran kognitif terhadap prinsip moral tingkat tinggi seringkali berkembang pada masa remaja, biasanya orang-orang baru melaksanakannya pada masa dewasa. Dua pengalaman yang memacu perkembangan moral pada masa dewasa awal adalah menghadapi nilai yang bertentangan dengan nilai yang sudah dianut di rumah (seperti yang terjadi di asrama atau wajib militer atau terkadang pada saat perjalanan ke luar negeri) dan pengalaman dalam bertanggung jawab terhadap kesejahteraan orang lain (seperti dalam berumah tangga).
 Pengalaman mungkin mengarahkan orang dewasa untuk mengevaluasi kembali kriteria mereka tentang benar dan salah. Sebagian orang dewasa secara spontan menyebut pengalaman personal sebagai alasan jawaban mereka terhadap dilema moral. Misalnya, orang-orang yang mengidap kanker atau memiliki saudara yang mengidap penyakit tersebut, berkecenderungan lebih besar memaafkan pria yang mencuri obat maal demi istrinya yang sedang sekarat, dan menjelaskan pandangan ini dari pengalaman mereka sendiri. (Bielby dan Papalia, dalam Papalia(2011)). Pengalaman Arthur Ashe dalam lingkungan yang amat kompetitif seperti menjadi kapten tim Davis AS., menjadikan dia menjadi lebih aktif dan terang-terangan dalam sarannya terhadap pengakhiran apartheid di Afrika Selatan. Pengalaman seperti ini, yang amat diwarnai oleh emosi, memicu pemikiran ulang dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh diskusi impersonal dan hipotesis, dan pengalaman ini lebih mungkin membuat orang bisa melihat sudut pandang orang lain. Dengan demikian, berkenaan dengan penilaian moral, tahapan kognitif bukanlah segalanya. Tentu saja, seseorang yang pemikirannya masih egosentris berkecenderungan lebih kecil membuat keputusan moral pada level postkonvensional (mengikuti prinsip moral yang dipegang dalam batin dan dapat memutuskan dalam kondisi pertentangan standar moral);akan tetapi bahkan seseorang yang dapat berpikir secara abstrak bisa jadi tidak encapai level tertinggi perkembangan moral kecuali pengalamannya menyatu dengan kognisinya. Banyak orang dewasa yang cakap memikirkan dirinya sendiri tidak dapat keluar dari batasan konvensional kecuali pengalaman mereka telah menyiapkan mereka terhadap perubahan teresebut. Lebih jauh lagi, pengalaman diinterpretasikan dalam konteks kultural.
2.1.1 Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut  Mönks (2006 : 312), Kohlberg meneliti pernilaian moral dalam perkembangannya, jadi apa yang dianggap baik (seharusnya dilakukan) dan tidak baik (tidak pantas dilakukan) oleh anak dalam stadium yang berbeda-beda. Hal ini diteliti melalui dilema-dilema  moral. Dengan begitu tindakan seseorang atas dasar pernilaian moral tadi tidak   tinjauan yang utama. Hal ini dapat dimengerti yaitu bahwa peneliti yang berasal dari mashab Piaget akan menitikberatkan pada perkembangan aspek kognitif-volisionalnya. Berdasarkan penelitian terhadap anak-anak yang diberikan dilema moral yang makin menuntut pengertian yang kompleks, maka Kohlberg melukiskan perkembangan moral anak dalam 6 stadium. Keenam stadium ini ada hubungan dengan keempat stadium perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget.
Dalam tingkatan nol anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Tingkatan ini bersamaan dengan stadium sensori-motorik dalam perkembangan inteligensi menurut Piaget. Sesudah tingkatan ini datanglah kedua tingkatanyang oleh Kohlberg disebut pra-konvensional. Anak menanggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkan oleh suatu tingkah laku: hadiah atau hukuman (stadium 1). Dalam stdium pra-konvensional yang berikutnya (stadium 2) anak mengikuti apa yang dikatakan baik atau buruk untk memperoleh hadiah atau menghindari hukuman. Hal ini disebut hedonisme instrumental . sifat timbale balik disini memegang peranan, tetapi masih dalam arti “moral balas dendam”. Kedua stadium ini sesuai waktu dengan stadium pra-operasional dalam perkembangan intelektual Piaget. Dengan datangnya stadium operasional formal mulailah juga perkembangan moral yang sebenarnya. Dalam hubungan ini Kohlberg membedakan antara tingkatan konvensional (stadium 3 dan 4) dan tingkatan post-konvensional (stadium 5 dan 6). Dalam stadium 3 akan dinilai baik apa yang dapat menyenangkan dan disetujui oleh orang lain dan buruk apa yang ditolak oleh orang lain. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam periode ini. Dalam stadium 4 ini tmbuh semacam kesadaran akan kewajiban dalam arti ingin mempertahankan kekuasaan dan aturan-aturan yang ada, karena dianggapnya berharga, tetapi dengan belum dapat mempertanggungjawabkan secara pribadi. Tingkatan  yang terakhir disebut post-konvensional untuk menunjukkan bahwa dalam stadium operasional formal moralitas akhirnya akan berkembang sebagai pendirian pribadi, jadi lebih tidak tergantung daripada pendapat-pendapat konvensional yang ada. Originalitas remaja juga nampak dalam hal itu. Pertama remaja masih mau diatur secara ketat oleh hokum-hukum umum yang lebih tinggi (stadium 5). Meskipun di sini kata hati sudah mulai bicara, namun penilaiannya masih belum timbul dari kata hati yang sudah betul-betul diinternalisasi, yang seringkali Nampak dalam sikap yang radikal kaku. Sesudahnya ini datanglah penginternalisasan moral yaitu remaja melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri(stadium 6).
Tingkat perkembangan sosial-kognitif akan diterangkan berikut ini:
1.      Tingkat egosentris: anak belum membedaka antara perspektif sendiri dengan perspektif orang lain. Ia belum “merasakan” bahwa orang lain yang tidak ada dalam situasi tertentu akan dapat mempunyai pandangan yang lain.
2.      Tingkat subjektif: anak sekarang sadar bahwa ada perspektif yang lain misalnya karena seseorang ada dalam situasi yang lain maka ia akan memperoleh informasi atau penilaian yang lain. Perspektif yang berbeda-beda ini belum dapat dimengerti hubungannya.
3.      Tingkat refleksi diri: sekarang ada perspektif yang menyebelah atau yang tidak timbale balik pada anak. Anak sadar bahwa orang lain dapat mempunyai perasan dan pikiran  yang lain pula, tetapi ia belum mampu untuk menghubungkan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain. Ia belum dapat menempatkan dirinya betul-betul pada tempat orang lain.
4.      Tingkat koordinasi perspektif: baru sekarang anak dapat mengerti suatu situasi-situasi dari sudut pandangan orang ketiga yang “netral”. Mulai sekarang ia mengerti bahwa orang-orang yang mengadakan interaksi itu secara simultan saling mengerti pendirian masing-masing. Sifat khas dari koordinasi perspektif adalah, bahwa anak seakan-akan menempatkan diri di luar dirinya sendiri dengan orang lain dari ‘sudut posisi orang ketiga’ dan dari posisi itu dapat menemukan hubungan yang timba balik antara berbagai perspektif tadi. (Gerris dalam Mönks, 2006 hal. 314).
Menurut Kohlberg dalam Mönks (2006), kebanyakan orang tidak mencapai tingkat post-konvensional atau terlambat mencapainya yang dapat disebabkan oleh pengaruh kuultur atau sub-kultur. Menurut penelitiannya mak 10% dari remaja Amerika mencapai tingkat ini sekitar usia 16 tahun. Menurut Kohlberg maka perkembangan moral dapat distimulasi oleh pendidikan moral.
Dewey pernah membagikan proses perkembangan moral atas 3 tahap yaitu: tahap pramoral, tahap konvensional dan tahp otonom. Selanjutnya Piaget berhasil melukiskan dan menggolongkan seluruh pemikiran moral anak sesuai dengan kerangka pemikiran Dewey:
1.      Tahap pramoral, anak belum menyadari keterikatannya pada aturan
2.      Tahap konvensional, dicirikan oleh ketaatan pada keuasaan
3.      Tahap otonom, bersifat keterikatan pada aturan yang didasarkan pada resiprositas
Tahap-tahap moral
1.      Pada Tingkat prakonvensional kita menemukan:
Tahap 1 — orientasi hukuman dan kepatuhan : orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini.
Tahap 2 — orientasi relativis-instrumental : perbuatan yang benar adalah yang secara instrumental memuaskan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan ditempat umum. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis, timbal-balik adalah soal “jika anda menggaruk punggungku, nanti aku akan menggaruk punggungmu”, dan ini bukan soal kesetiaan, rasa terima kasih atau keadilan.
2.      Pada Tingkat konvensional
Tahap 3 — orientasi kesepakatan antara pibadi atau orientasi “anak manis”. Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitaas dengan gambara-gambaran streotip mengenai apa yang di anggap tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang wajar. Perilaku kerp kali dinilai menurut niat, ungkapan ia bermaksud baik untuk pertama kalinya menjadi penting dan digunakan secara berlebih-lebihan. Orang mencari persetujuan dengan berperilaku baik.
Tahap 4 — orientasi hukum dan ketertiban: orientasi kepada otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya.
3.      Pada Tingkat pasca-konvensional
Tahap 5 — orientasi kontrak sosial legalistis: suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian. Perbuatan yang benar cenderungdidefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat suatu kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang sesuai untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang disepakati secara konstitusional dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal nilaidan pendapandangpat pribadi. Hasilnya adalah suatu tekanan atas sudut pandang legal, tetapi dengan menggarisbawahi kemungkinan perubahan hokum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan sosial dan bukan membuatnya beku dalam kerangka hokum dan ketertiban seperti pada gaya tahap 4. Di luar bidang legal, persetujuan dan kontrak bebas merupakan unsur-unsur pengikat unsur-unsur kewajiban.
Tahap 6 — orientasiprinsip etikauniversal : orientasi pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemahaman logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan HAM, serta rasa hormat terhadap martabat manusia sebagai individu.
Menurut Giligan dalam Papalia (2011 : 667), berikut adalah level-level perkembangan moral pada wanita:
Level 1                        : orientasi pada kebertahanan hidup individual
Wanita berkonsentrasi pada dirinya sendiri—apa yang praktis dan yang terbaik untuk dirinya.
Transisi 1        : dari egoisme kepada tanggung  jawab
Wanita menyadari hubungannya dengan orang lain dan memikirkan apa pilihan bertanggung jawab yang akan di ambil dalam kerangka hubungannya dengan orang lain (termasuk janin yang dikandungnya) sekaligus dengan dirinya sendiri.
Level 2                        : kebaikan adalah pengorbanan diri
Kebijakan kuno feminine menuntut pengorbanan keinginan wanita itu sendiri demi keinginan orang lain—dan yang akan dipikirkan orang lain terhadap dirinya. Dia menganggap dirinya bertanggung jawab terhadap tindakan orang lain, dan pada saat yang sama menanggung tanggung jawab orang lain terhadap pilihannya. Dia berada dalam posisi bergantung kepada orang lain, salah satu sebabnya adalah karena usaha tidak langsungnya menampakkan control sering berubah menjadi manipulasi dan terkadang melalui perasaan bersalah.
Transisi 2        : dari kebaikan kepada kebenaran
Wanita menilai keputusannya tidak berdasarkan bagaimana orang lain akan bereaksi terhadap dirinya tapi berdasarkan keinginannya dan konsekuensi dari tindakannya. Dia mengembangkan penilaian baru yang  mempertimbangkan keinginannya sendiri beserta keinginan yang lain.  Dia ingin menjadi “baik” dengan bertanggung jawab kepada orang lain, tapi juga ingin menjadi “jujur” dengan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Survival return merupakan perhatian utamanya.
Level 3                        : moralitas non kekerasan
Dengan menjadikan tindakan tidak menyakiti orang lain (termasuk dirinya sendiri) menjadi prinsip yang mengatur semua penilaian moral dan tindakan, seorang wanita membangun “ekualitas moral” antara dirinya dan orang lain dan kemudian menjadi mampu memperkirakan tanggung jawab pilian dalam sebuah dilema moral.

Akan tetapi, riset lain, secara keseluruhan, tidak menemukan perbedaan gender yang signifikan pada penalaran moral. Satu analisis berkala besar yang membandingkan 66 studi menemukan tidak ada perbedaan signifikan dalam respons pria maupun wanita terhadap dilema Kohlberg sepanjang rentang kehidupan (L. J. Walker dalam Papalia,2011: 668).
2.1.2 Ciri-ciri perkembangan moral AUD
Jean Piaget dalam Mayar (2010) mengamati ciri-ciri perkembangan moral anak yaitu:
·         Anak usia 2 tahun mereka bermain tidak dengan anjuran yang dikendalikan aktivitas mereka (aktivitas motorik) tidak ada kesadaran yang mengatur penggunaan permainan.
·         Anak 2 - 6 tahun mulai secara berangsur-angsur memiliki kesadaran akan peraturan. Akan tetapi ia menganggap  peraturan itu suci, tidak dapt diganggu gugat. Pelaksanaan peraturannya bersifat egosentris artinya ia hanya menirukan apa yang ia lihat.
·         Anak usia 7 – 10 tahun mulailah anak beralih dari kesenangan psikomotorik menuju pada tingkat kesadaran adanya kerangka aturan yang disepakati.
Dan ciri-ciri perkembangan moral anak usia dini bisa juga kita lihat dengan tingkah laku atau sikapnya sehari-hari bagaimana ia menghormati orangtuanya, temannya, dan gurunya. (Mudjiran : 2002)

2.2 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN MORAL
Menurut Mudjiran (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak usia dini yaitu, diantaranya:
·         Orangtua/guru sebagai model
Dasar pandangan anak-anak dikontrol oleh perintah orangtua, karena adanya pengakuan anak terhadap kewibawaan orangtua, bukan karena ketakutan terhadaphukuman orang tua.
·         Kurangnya disiplin yang diberikan orangtua
a.       Orangtua otoriter akan melemahkan perkembangan moral anak
b.      Orangtua yang menerapkan disiplin induksi akan meningkatkan perkembangan moral anak
c.       Orangtua yang menerapkan disiplin penarikan cinta, menimbulkan pengaruh yang buruk atau agresif
·         Interaksi dengan teman sebaya
Interaksi dengan teman sebaya dan kemampuan bermain peranan meningkatkan perkembangan moral.
·         Adanya keseluruhan tingkah laku yang ditiru oleh anak tanpa membedakannya
·         Kurangnya motivasi
·         Tidak adanya aspirasi orang dewasa dalam pembentukan moralnya
Perkembangan moralitas menurut Kohlberg dalam Papalia (2011) juga dipengaruhi oleh pendidikan moral.
Menurut Simandjuntak (1980), Pola pembentukan norma moral dapat diperoleh anak  dengan cara pelajaran mengenai tingkah laku sesuai dengan situasi dan norma yang berlaku, identifikasi, yaitu meniru tingkah laku orang-orang sekitar, dengan bertambahnya pengalaman anak. Kondisi yang menghambat perkembangan moral anak ialah:
·         faktor orangtua seperti sikap yang tidak konsisten, sikap sukar diduga, mencela tanpa penjelasan
·         faktor lingkungan seperti perubahan nilai akan menggoncangkan norma yang sudah terbentuk pada anak, dan perbedaan situasi dengan norma-norma sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

DEPDIKNAS. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Mayar,Farida dan Rivda Yetti. 2010. Bahan Ajar Perkembangan Peserta Didik. Padang: UNP.
Mudjiran, dkk. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Padang : UNP Press.
Mönks, F. J, dkk. 2006. Psikologi Perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Papalia, Diane E. ,dkk. 2011. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakarta: Kencana.
Simandjuntak, B dan I.L.,Pasaribu. 1980. Pendekatan Fenomenologis tentang Existensi Manusia Dasar-Dasar Pembinaan Generasi Muda: Psikologi Perkembangan. Bandung: Tarsito

Tidak ada komentar:

Posting Komentar